Torehan kepala tak beraturan menyatakan keras bahwa, jauh di dalam sana terdapat kesadaran yang telah direnggut paksa. Penayangan memorial disambut gelenyar malapetaka: terhasutnya atma dari bisik ragu animo yang tersisa. Alih-alih menggunakan kedua tangan sebagai pelindung jiwa-raga, mata dan telinga turut menolak proklamasi massa. Berbagai stigma nyaris memblokade kesempurnaan akal sehat yang tak bersalah hingga membuatnya putus asa.
Perlu diketahui, kesengsaraan itu bersifat sementara: tak
memiliki arti apabila sumarah dianggap berjaya. Ia menginginkan kembali
kebijksanaan sebuah citra. Maka, sabda Sang Agung adalah pertolongan pertama
untuk diterimanya. Dalam setiap pinta yang sederhana, harap-harap langit akan
menggaungkan utas berbahagia saat pejaman matanya terbuka. Bersedialah ia
merangkai ulang beragam gunungan peristiwa dari baik-buruknya predestinasi yang
begitu berkuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar