Kamis, 27 Juni 2024

Arah Mata Kita Melihat Ketika Silam

Bukan lagi sekadar ibarat
Segmen bertahan hidup meningkat
Berbondong-bondong memantik suluh
Lantunan kelakar mereka seraya berkeluh

Ke sana kian kemari mengais angin
Hampir saja beradu kokoh
Dibebat kanopi sang beringin
Beruntung kala gulita mencemooh
Pohon itu enggan bermain
Tiada tampak penghuni nang menggetarkan batin

Kunang-kunang seharusnya menuntun 
Ketika terjebak di antara semak
Barangkali mereka bersayap
Mengintip indah dalam gelap
Walau sangat sayang 
Presensinya ditelan
Bersama kerindangan sang penderma 
Menyusut habis selepas dibabat

Patung Pancoran bahkan enggan bersedekap
Gaya jumawa yang berbeda
Senantiasa menghunus tangannya
Meski cahaya kota berhenti menyorot
Sudah kodratnya menjadi tegap
Dengan mata melotot
Mengawasi darat dan udara
Kebanggaan strata dirgantara
Jakarta dibuat harum namanya

Tak sedikit yang bermuka masam
Lantaran koneksi hilang
Sementara mengulur malam
Sebab kewajiban tak kunjung matang
Sebelum pagi menjelang

Tak sedikit yang berandai
Seumpama lebih lama
Kausaksikan pekatnya bumantara
Tumpah-tumpah gemintang yang melandai
Niscaya megah meski sederhana

Membuat kamu iri saja
Gara-gara piawainya mereka
Para pesohor desa
Yang bermukim di pedalaman
Memendam pamor alam semesta

Lamun sepatutnya Tuhan maha adil
Tersisihnya antara modern dengan yang lama
Lebih kurangnya sudah dibagi rata

Entah lestari mengikat natur
Kendati tertinggal setiap dekade makmur
Maupun dilema teknologi termahsyur
Walau insting alamiahnya harus luntur


"Wahai listrik yang padam, kuakui bahwa dikau suram. Namun saat itulah aku paham. Kemegahan tak selamanya terang–malah kauantar daku pada rembulan yang kesepian. Belum saja kusadari kelap-kelip gugus bintang di antara kabut malam. Oh, wahai listrik yang padam ...."

Bukan Tenggelam, Namun Biarlah Hanyut

Tapakmu memar
Di atas pasir
Langkahmu terseok-seok
Ada kepingan kulit kerang
Menikam lapisan terdalam
Dibiarkan sakit
Dicabut sulit

Tak kuasa kauusahakan sendiri
Meminta tolong pun tak enak hati

Hanya lutut kananmu yang ditekuk
Jelas kau pincang
Kau tak punya pegangan
Beruntung sangat di antara semilir angin
Alih-alih oleng
Pasang surut air nampaknya lihai
Kau berserah diri untuk hanyut

Kerumunan panik
Tak serta-merta kau ditarik
Barangkali terlihat pelik
Sementang paceklik sedang naik

Tak terasa kau sudah berjinjit

Di tengah laut 
Kakimu tak lagi sakit
Di tengah laut
Kaupandang matahari terbit

Akhirnya kau berbalik
Seperti kerang yang terdampar
Kausinggah di pesisir
Kautengok tapakmu bersih
Sudut bibirmu terangkat dengan rintih

Tak harus manusia
'Tuk memisah perih
Laut pun berwelas asih

Tak harus manusia
'Tuk menyambut tanpa selisih
Hangat mentari pun menyapamu dengan fasih

"Awalnya terlanjur sedih, kini aku berterima kasih."

Sabtu, 15 Juni 2024

Ibarat Lahir Kembali, Mulanya Mimpi

Torehan kepala tak beraturan menyatakan keras bahwa, jauh di dalam sana terdapat kesadaran yang telah direnggut paksa. Penayangan memorial disambut gelenyar malapetaka: terhasutnya atma dari bisik ragu animo yang tersisa. Alih-alih menggunakan kedua tangan sebagai pelindung jiwa-raga, mata dan telinga turut menolak proklamasi massa. Berbagai stigma nyaris memblokade kesempurnaan akal sehat yang tak bersalah hingga membuatnya putus asa.

Perlu diketahui, kesengsaraan itu bersifat sementara: tak memiliki arti apabila sumarah dianggap berjaya. Ia menginginkan kembali kebijksanaan sebuah citra. Maka, sabda Sang Agung adalah pertolongan pertama untuk diterimanya. Dalam setiap pinta yang sederhana, harap-harap langit akan menggaungkan utas berbahagia saat pejaman matanya terbuka. Bersedialah ia merangkai ulang beragam gunungan peristiwa dari baik-buruknya predestinasi yang begitu berkuasa.

 

"Wahai Bunga Tidur, jangan biarkan aku melindur."

Seperempat Waktu oleh Distraksi Rindu

Ukiran manasuka kautitipkan pada dedaunan oranye
Dibiarkan mengering sejak musim gugur
Seiras gerumul rasa, tong sampahku kian penuh
Kadang kala masih berceceran meski telah kutata sedemikian utuh
Tiada artinya bila rapuh begitu disentuh

Kicauan burung yang bersahutan kala fajar menyingsing,
tertinggal sudah kemerduannya tiap kali mulutmu melontar frasa
Kendati diterpa sejuknya angin yang melandai,
sapuannya tak lagi selembut sapaan ramahmu
Meski cerahnya mentari mampu mengintip tirai jendela,
kehangatannya tak sebanding untaian senyummu nan jauh di sana

"Jangan kangen sama saya, ya."

Mereka Ataukah Aku?

Kutatap jendela yang memantulkan wajahku sendiri. Samar, tetapi cukup untuk membuatku muak. Di luar sana, kota ini berdengung oleh mesin-mes...