Kamis, 30 Oktober 2025

Mereka Ataukah Aku?

Kutatap jendela yang memantulkan wajahku sendiri. Samar, tetapi cukup untuk membuatku muak. Di luar sana, kota ini berdengung oleh mesin-mesin dan ambisi. Gedung-gedung menjulang seperti pengingat bahwa harga diri manusia kini bisa diukur dari tinggi lantai tempatnya bekerja.

Aku pernah iri pada mereka yang lahir di pangkuan kelebihan. Wajah-wajah borjuis dengan jas rapih dan senyum yang dilatih. Mereka tidak pernah benar-benar lapar, hanya diet. Tidak pernah takut miskin, hanya bosan. Mereka bicara tentang “kesederhanaan” dengan lidah yang tak pernah mencicip asin keringat sendiri.

Namun, hakikatnya cermin yang reflektif, pikiranku memutar. Mungkinkah aku sebenarnya salah satu dari mereka, hanya versi gagal? Aku meniru cara bicara mereka, cara duduk, bahkan cara tertawa. Kupikir dengan begitu, aku bisa naik satu tangga sosial. Kenyataannya, yang kudapati hanyalah kehilangan rasa.

Kini aku tak tahu lagi, siapa yang lebih miskin: mereka yang memiliki segalanya tapi tak pernah merasa cukup, atau aku yang tak punya apa-apa tapi masih berusaha percaya pada kata cukup.

Lambat laun, bayangan samar di sana tak lagi sekadar diriku. Mungkin di balik setiap wajah yang lewat, ada cermin yang sama. Keinginan untuk diakui, untuk merasa layak, untuk menjadi lebih dari sekadar manusia biasa.

Setiap dari kita, tanpa sadar, menyimpan sedikit borjuis di dada. Bukan karena ingin berkuasa, tapi karena takut tak dianggap ada.

“.... Mungkin, memang begitu cara dunia bekerja.”

Selasa, 17 Juni 2025

Hengkang, Kendati Pagar Terasing

Kali pertama aku bersandar 
Tak kudengar pagarnya berderit 
Barangkali memang sering dibersihkan, 
tangga yang kulalui beranak pinak guna mencapai puncak 
Bahkan laju yang dibutuhkan, tak setara dengan napas pas-pasan 

Hebatnya kelopak mataku, 
ketika mereka enggan berkedip
Representasi biru yang saling bertentangan,
seyogianya kanvas tak berkesudahan

Bahwa variasi mimik awan, 
adalah dinamika lazim tuk kita lihat 
Tak lebih dari sekadar kernyitan diulas, 
setiap teriknya syamsi menjarah spektrum paling gelap

..., tanpa sempat dirampungkan.

Sabtu, 22 Februari 2025

Indonesia Gelap: Sejarah yang Tak Layak Terulang

"Wahai negeriku, ada apa denganmu?" Sejauh zaman penjajahan, Indonesia didominasi oleh sang tiran. Kebijaksanaan mustahil bertahan dalam jangka panjang. Bukan lagi emas yang benderang, namun cemas yang menyerang. Komunisme ditentang, demokrasi dihadang, sosialis ditendang, dan sebentar lagi kita akan menghilang. Dengan itu kau berencana menjadi diaspora, tetapi Luhut menyuruhmu bunuh diri dan masuk surga. Memangnya ia bisa menjamin dirinya sendiri untuk menghindari neraka? Bukan Tuhan dan tua renta kok banyak gaya. Mengapa harus menjual agama? Seperti Prabowo yang alangkah baiknya tinggal di panti jompo, mohon diurusi penyakitnya terlebih dahulu sebelum disetir oleh Mulyono. Tak usah jadi Soeharto, negeri ini sudah susah meski diiming-imingi sembako. Jikalau kedunguan Gibran kembali berulah, biarlah Bahlil yang cawe-caweToh, masih ada Kiky Saputri dan pemengaruh lain nan gak napak tanah untuk saling mengeksplotasi. Terkadang ingin kautimpuk mereka dengan gas elpiji yang diburu setengah mati, tetapi kau masih lebih baik karena punya hati nurani. Kau bukan Raffi Ahmad yang diam-diam mengoleksi kebutuhan rakyat miskin. Mereka mana paham rasanya dicekik pajak, kendati fasilitas laksana sempak. Efisiensi, ndasmu! Bahkan profesi tak lagi sesuai visi. Damkar yang tak digaji senantiasa melayani, lamun polisi baru bertindak bilamana disuapi. 

Bak, gedebak, gedebuk. Cerobohmu melahirkan titel tak becus sementara oligarki kapital menyeruduk. Hanya kau yang buta sementang langkahmu terantuk-antuk, kata si gendut, membelakangi pintu masa depan generasi emas sambil menarik pelatuk. Perut buncitnya kembang kempisyang kaudoakan lekas meledaklantaran variasi dar, der, dor menjadi pertunjukkan tawa pelanggaran hak asasi manusia. Sudah biasa kausaksikan para penjilat bokong rezim mendesah keasyikkan. "Ah, ah, ah enaknya hari ini telah kurenggut lagi kedaulatan rakyat." Bahkan gedung DPR serupa pantat itu menggagahi mereka usai disodok atap runcing Istana Merdeka. Klimaks senantiasa terulang selepas hukum diobok-obok oleh para feodal. Kau tak pernah sudi menjadi bagian dari mereka, tetapi malah terkena tainya. Lir wabah, semerbak kebusukan bau ketek Erina menginvasi satu negara setiap palu diketuk tiga kali terhadap usulan asal ceplas-ceplos. Kau dituduh anarkis, sedang mereka mencuci tangan dengan bengis. Tahu-tahu Om Deddy Corbuzier selaku pemilik dagu runcing menjabat sebagai stafsus. Kau bertanya-tanya, ke mana perginya konsensus? Kelak makin marak konten podcast guna menyulut propaganda, menambah kekhawatiran saja. Sepenuhnya dicekoki penguasa, lantas berharap pada media lokal juga percuma. Yang penting bagi penindas adalah berpesta pora di luar kegelapan penyintas imbas oke gas, oke gas.

Garuda di dadamu tinggal tersisa tulang belulangnya. Rontok sudah bulu-bulu simbol kemerdekaan bangsa. Tiap tetes darah pengorbanan dianggap mahakarya. Pancasila telah kehilangan implementasinya. Harga dirimu sekarang disandingkan dengan sebatas pemberontakan alih-alih perjuangan. Ironinya, kepalamu dipenggal karena konon ayam ternak tak perlu berotak. Ideologi mereka sudah lama bergeser untuk mengagungkan para pengerat. Moncong-moncong pembawa virus provokatif mencicit nyaring padahal berkepala kosong. Mereka mengaku paling sibuk. Sibuk untuk memakan hak rakyat sampai obesitas. Sebaliknya meski kering kerontang, kaukejar pendidikan tiada batas hingga kehabisan napas. Barangkali bisa melampaui IPK dua koma tiga seorang wakil presiden adalah prestasi besar tanpa harus merampas. Kamu telah terbiasa hidup keras, mana mungkin mendapat privilese peranan bapak mantan tukang kayu dan gemar menyerahkan kursi penuh rayu. Manja kali, ah, fufufafa. Sehina-hinanya dirimu, kau tak pernah terbesit 'tuk memalsukan ijazah sebab kau lebih lapar ilmu pengetahuan daripada siasat kekuasaan, bukan?

Sabtu, 08 Februari 2025

Titik Nol Mutlak dan Pikat Gravitasi

Karangan ditulis berdasarkan sudut pandang karakter
Love and Deepspace; Xavier.

Tahukah, kasih? Bagiku yang tak punya cukup tenaga untuk menikmati lelehan salju pertama, malam di bulan Desember terlalu dingin. Sekadar mengganti pakaian dengan yang lebih tebal pun enggan. Ketika kuhampiri sofa dengan gontai, radiasi panas perapian di hadapanku cukup membuat tubuhku meringkuk. Seharusnya aku sudah disambut oleh bunga tidur dalam sekali pejaman mata, namun kedamaian terus menghindariku bagai hama.

Kepalaku sakit lantaran diserang insomnia berkesinambungan. Kadang-kadang telingaku berdenging saat aku sama sekali tidak menginginkannya. Setiap hasil ledakan sia-sia untuk mendapatkan protocore khusus merupakan ingatan yang ingin kuhapus. Mataku meredup, sementara perasaanku diwakilkan oleh kilatan berang dari bara api. Batang-batang kayu itu digerogoti dengan serakah, hingga air mataku turut bertumpah ruah.

Aku tak pernah tahu cara mendamba. Terbiasa dijerat pelbagai tuntutan tak masuk akal atas gelar kehormatan yang kusandang, akulah boneka kerajaan bagi sang dalang. Mata pedang kuhunus sana-sini dalam kegelapan tanpa tahu arahnya. Hingga hadirmu menyeruak selembut cahaya mentari pagi; menyusup lewat sela-sela jemari. Kutemukan dirimu kala aku perlu diasah agar terarah. Tak lagi kuayunkan pedang dengan payah, bahwasanya aku mengabdi karena kamu layak diperjuangkan seperti musim semi.

O, dengarlah, cinta. Niscaya tak banyak era yang kusukai, kehangatan musim semi tidak mengikis kulit. Terpaan angin sejuknya tidak menusuk sampai ke tulang. Namun kehilanganmu berulang kali adalah kasus yang melebihi musim dingin abadi di kutub. Aku dibekukan oleh waktu. Penjelajahan ruang hampa nirbatas ialah dampak absensimu. Jiwaku terombang-ambing dalam ketidakpastian. Seumpama molekul dan atom berhenti total, lantas kehidupanku tidak ada bedanya.

“Aku rindu.”

Diberkati hidup abadi bukan berarti tidak bisa mati. Aku tumbuh tanpa memahami makna menua ketika usiaku berhenti pada perputaran tahun kedua puluh tiga. Mayoritas orang mungkin akan menyumpah serapahiku sebagai makhluk tak tahu untung. Sialnya, meniti kehidupan nomaden dengan segudang identitas bukanlah hal yang patut dibanggakan. 

Percayakah, sayang? Hanya berada di sisimu, aku merindukan masa-masa aku bisa menjadi diri sendiri. Adakalanya kamu tidak menyukai diriku yang berlapis-lapis seperti bawang. Maka menyaksikanmu direnggut tiada henti oleh semesta, menjadikan rasa bersalahku sebagai teror abadiah. Memoriku terputar acak serupa kaset rusak. Kusesali setiap kesempatan yang terlewati untuk lebih sedikit berdusta. Celakanya, melihatmu terpuruk adalah perkara yang sangat kutolak mentah-mentah.

Kamu tak selalu berada di tempat yang mampu kujangkau. Di antara kesunyian hamparan kosmis, inkarnasimu adalah variasi bintang dengan keelokannya yang berkelap-kelip. Butuh waktu lama bagimu untuk tercipta, namun redupnya cahayamu bisa terjadi dalam sekejap mata. Kendati secara sporadis, aku tersadar bahwa bulan adalah penjelmaanmu yang paling serasi. 

Hakikatnya, si bulat perak perunggu memantulkan cahaya, walakin ia tak pernah mati dan senantiasa indah. Bulan yang tidak sempurna lantaran dihiasi jejak-jejak pertahanannya tanpa menyerah, merefleksikan sifat keras kepala nan sulit kauubah. Semua versi dirimu tetaplah kesatuan utuh yang nahasnya setia beredar di jalur tunggal. Seakan kamu selalu mengelilingiku pada waktu yang tak pasti, kurasakan bayang-bayangmu yang mengamati, hanya untuk menyapa pertemuan pertama kita yang kesekian kali. 

Sayang, ketahuilah bahwa aku tidak pernah lelah menunggumu. 
Cinta, segeralah hadir untuk merengkuh rinduku.
Kasih, sambutlah aku selembut jejak-jejak cahayamu.

Tegakah dirimu membiarkanku dibelenggu dinginnya tipu muslihat sang gulana?

..., begitulah hatiku mengukir arti presensimu
selamanya akan hidup pada sisa-sisa batas waktuku. 

Kamis, 27 Juni 2024

Arah Mata Kita Melihat Ketika Silam

Bukan lagi sekadar ibarat
Segmen bertahan hidup meningkat
Berbondong-bondong memantik suluh
Lantunan kelakar mereka seraya berkeluh

Ke sana kian kemari mengais angin
Hampir saja beradu kokoh
Dibebat kanopi sang beringin
Beruntung kala gulita mencemooh
Pohon itu enggan bermain
Tiada tampak penghuni nang menggetarkan batin

Kunang-kunang seharusnya menuntun 
Ketika terjebak di antara semak
Barangkali mereka bersayap
Mengintip indah dalam gelap
Walau sangat sayang 
Presensinya ditelan
Bersama kerindangan sang penderma 
Menyusut habis selepas dibabat

Patung Pancoran bahkan enggan bersedekap
Gaya jumawa yang berbeda
Senantiasa menghunus tangannya
Meski cahaya kota berhenti menyorot
Sudah kodratnya menjadi tegap
Dengan mata melotot
Mengawasi darat dan udara
Kebanggaan strata dirgantara
Jakarta dibuat harum namanya

Tak sedikit yang bermuka masam
Lantaran koneksi hilang
Sementara mengulur malam
Sebab kewajiban tak kunjung matang
Sebelum pagi menjelang

Tak sedikit yang berandai
Seumpama lebih lama
Kausaksikan pekatnya bumantara
Tumpah-tumpah gemintang yang melandai
Niscaya megah meski sederhana

Membuat kamu iri saja
Gara-gara piawainya mereka
Para pesohor desa
Yang bermukim di pedalaman
Memendam pamor alam semesta

Lamun sepatutnya Tuhan maha adil
Tersisihnya antara modern dengan yang lama
Lebih kurangnya sudah dibagi rata

Entah lestari mengikat natur
Kendati tertinggal setiap dekade makmur
Maupun dilema teknologi termahsyur
Walau insting alamiahnya harus luntur


"Wahai listrik yang padam, kuakui bahwa dikau suram. Namun saat itulah aku paham. Kemegahan tak selamanya terang–malah kauantar daku pada rembulan yang kesepian. Belum saja kusadari kelap-kelip gugus bintang di antara kabut malam. Oh, wahai listrik yang padam ...."

Bukan Tenggelam, Namun Biarlah Hanyut

Tapakmu memar
Di atas pasir
Langkahmu terseok-seok
Ada kepingan kulit kerang
Menikam lapisan terdalam
Dibiarkan sakit
Dicabut sulit

Tak kuasa kauusahakan sendiri
Meminta tolong pun tak enak hati

Hanya lutut kananmu yang ditekuk
Jelas kau pincang
Kau tak punya pegangan
Beruntung sangat di antara semilir angin
Alih-alih oleng
Pasang surut air nampaknya lihai
Kau berserah diri untuk hanyut

Kerumunan panik
Tak serta-merta kau ditarik
Barangkali terlihat pelik
Sementang paceklik sedang naik

Tak terasa kau sudah berjinjit

Di tengah laut 
Kakimu tak lagi sakit
Di tengah laut
Kaupandang matahari terbit

Akhirnya kau berbalik
Seperti kerang yang terdampar
Kausinggah di pesisir
Kautengok tapakmu bersih
Sudut bibirmu terangkat dengan rintih

Tak harus manusia
'Tuk memisah perih
Laut pun berwelas asih

Tak harus manusia
'Tuk menyambut tanpa selisih
Hangat mentari pun menyapamu dengan fasih

"Awalnya terlanjur sedih, kini aku berterima kasih."

Sabtu, 15 Juni 2024

Ibarat Lahir Kembali, Mulanya Mimpi

Torehan kepala tak beraturan menyatakan keras bahwa, jauh di dalam sana terdapat kesadaran yang telah direnggut paksa. Penayangan memorial disambut gelenyar malapetaka: terhasutnya atma dari bisik ragu animo yang tersisa. Alih-alih menggunakan kedua tangan sebagai pelindung jiwa-raga, mata dan telinga turut menolak proklamasi massa. Berbagai stigma nyaris memblokade kesempurnaan akal sehat yang tak bersalah hingga membuatnya putus asa.

Perlu diketahui, kesengsaraan itu bersifat sementara: tak memiliki arti apabila sumarah dianggap berjaya. Ia menginginkan kembali kebijksanaan sebuah citra. Maka, sabda Sang Agung adalah pertolongan pertama untuk diterimanya. Dalam setiap pinta yang sederhana, harap-harap langit akan menggaungkan utas berbahagia saat pejaman matanya terbuka. Bersedialah ia merangkai ulang beragam gunungan peristiwa dari baik-buruknya predestinasi yang begitu berkuasa.

 

"Wahai Bunga Tidur, jangan biarkan aku melindur."

Seperempat Waktu oleh Distraksi Rindu

Ukiran manasuka kautitipkan pada dedaunan oranye
Dibiarkan mengering sejak musim gugur
Seiras gerumul rasa, tong sampahku kian penuh
Kadang kala masih berceceran meski telah kutata sedemikian utuh
Tiada artinya bila rapuh begitu disentuh

Kicauan burung yang bersahutan kala fajar menyingsing,
tertinggal sudah kemerduannya tiap kali mulutmu melontar frasa
Kendati diterpa sejuknya angin yang melandai,
sapuannya tak lagi selembut sapaan ramahmu
Meski cerahnya mentari mampu mengintip tirai jendela,
kehangatannya tak sebanding untaian senyummu nan jauh di sana

"Jangan kangen sama saya, ya."

Mereka Ataukah Aku?

Kutatap jendela yang memantulkan wajahku sendiri. Samar, tetapi cukup untuk membuatku muak. Di luar sana, kota ini berdengung oleh mesin-mes...