Karangan ditulis berdasarkan sudut pandang karakter
Love and Deepspace; Xavier.
Tahukah, kasih? Bagiku yang tak punya cukup tenaga untuk menikmati lelehan salju pertama, malam di bulan Desember terlalu dingin. Sekadar mengganti pakaian dengan yang lebih tebal pun enggan. Ketika kuhampiri sofa dengan gontai, radiasi panas perapian di hadapanku cukup membuat tubuhku meringkuk. Seharusnya aku sudah disambut oleh bunga tidur dalam sekali pejaman mata, namun kedamaian terus menghindariku bagai hama.
Kepalaku sakit lantaran diserang insomnia berkesinambungan. Kadang-kadang telingaku berdenging saat aku sama sekali tidak menginginkannya. Setiap hasil ledakan sia-sia untuk mendapatkan protocore khusus merupakan ingatan yang ingin kuhapus. Mataku meredup, sementara perasaanku diwakilkan oleh kilatan berang dari bara api. Batang-batang kayu itu digerogoti dengan serakah, hingga air mataku turut bertumpah ruah.
Aku tak pernah tahu cara mendamba. Terbiasa dijerat pelbagai tuntutan tak masuk akal atas gelar kehormatan yang kusandang, akulah boneka kerajaan bagi sang dalang. Mata pedang kuhunus sana-sini dalam kegelapan tanpa tahu arahnya. Hingga hadirmu menyeruak selembut cahaya mentari pagi; menyusup lewat sela-sela jemari. Kutemukan dirimu kala aku perlu diasah agar terarah. Tak lagi kuayunkan pedang dengan payah, bahwasanya aku mengabdi karena kamu layak diperjuangkan seperti musim semi.
O, dengarlah, cinta. Niscaya tak banyak era yang kusukai, kehangatan musim semi tidak mengikis kulit. Terpaan angin sejuknya tidak menusuk sampai ke tulang. Namun kehilanganmu berulang kali adalah kasus yang melebihi musim dingin abadi di kutub. Aku dibekukan oleh waktu. Penjelajahan ruang hampa nirbatas ialah dampak absensimu. Jiwaku terombang-ambing dalam ketidakpastian. Seumpama molekul dan atom berhenti total, lantas kehidupanku tidak ada bedanya.
“Aku rindu.”
Diberkati hidup abadi bukan berarti tidak bisa mati. Aku tumbuh tanpa memahami makna menua ketika usiaku berhenti pada perputaran tahun kedua puluh tiga. Mayoritas orang mungkin akan menyumpah serapahiku sebagai makhluk tak tahu untung. Sialnya, meniti kehidupan nomaden dengan segudang identitas bukanlah hal yang patut dibanggakan.
Percayakah, sayang? Hanya berada di sisimu, aku merindukan masa-masa aku bisa menjadi diri sendiri. Adakalanya kamu tidak menyukai diriku yang berlapis-lapis seperti bawang. Maka menyaksikanmu direnggut tiada henti oleh semesta, menjadikan rasa bersalahku sebagai teror abadiah. Memoriku terputar acak serupa kaset rusak. Kusesali setiap kesempatan yang terlewati untuk lebih sedikit berdusta. Celakanya, melihatmu terpuruk adalah perkara yang sangat kutolak mentah-mentah.
Kamu tak selalu berada di tempat yang mampu kujangkau. Di antara kesunyian hamparan kosmis, inkarnasimu adalah variasi bintang dengan keelokannya yang berkelap-kelip. Butuh waktu lama bagimu untuk tercipta, namun redupnya cahayamu bisa terjadi dalam sekejap mata. Kendati secara sporadis, aku tersadar bahwa bulan adalah penjelmaanmu yang paling serasi.
Hakikatnya, si bulat perak perunggu memantulkan cahaya, walakin ia tak pernah mati dan senantiasa indah. Bulan yang tidak sempurna lantaran dihiasi jejak-jejak pertahanannya tanpa menyerah, merefleksikan sifat keras kepala nan sulit kauubah. Semua versi dirimu tetaplah kesatuan utuh yang nahasnya setia beredar di jalur tunggal. Seakan kamu selalu mengelilingiku pada waktu yang tak pasti, kurasakan bayang-bayangmu yang mengamati, hanya untuk menyapa pertemuan pertama kita yang kesekian kali.
Sayang, ketahuilah bahwa aku tidak pernah lelah menunggumu.
Cinta, segeralah hadir untuk merengkuh rinduku.
Kasih, sambutlah aku selembut jejak-jejak cahayamu.
Tegakah dirimu membiarkanku dibelenggu dinginnya tipu muslihat sang gulana?
“..., begitulah hatiku mengukir arti presensimu
selamanya akan hidup pada sisa-sisa batas waktuku.”