Kutatap jendela yang memantulkan wajahku sendiri. Samar, tetapi cukup untuk membuatku muak. Di luar sana, kota ini berdengung oleh mesin-mesin dan ambisi. Gedung-gedung menjulang seperti pengingat bahwa harga diri manusia kini bisa diukur dari tinggi lantai tempatnya bekerja.
Aku pernah iri pada mereka yang lahir di pangkuan kelebihan. Wajah-wajah borjuis dengan jas rapih dan senyum yang dilatih. Mereka tidak pernah benar-benar lapar, hanya diet. Tidak pernah takut miskin, hanya bosan. Mereka bicara tentang “kesederhanaan” dengan lidah yang tak pernah mencicip asin keringat sendiri.
Namun, hakikatnya cermin yang reflektif, pikiranku memutar. Mungkinkah aku sebenarnya salah satu dari mereka, hanya versi gagal? Aku meniru cara bicara mereka, cara duduk, bahkan cara tertawa. Kupikir dengan begitu, aku bisa naik satu tangga sosial. Kenyataannya, yang kudapati hanyalah kehilangan rasa.
Kini aku tak tahu lagi, siapa yang lebih miskin: mereka yang memiliki segalanya tapi tak pernah merasa cukup, atau aku yang tak punya apa-apa tapi masih berusaha percaya pada kata cukup.
Lambat laun, bayangan samar di sana tak lagi sekadar diriku. Mungkin di balik setiap wajah yang lewat, ada cermin yang sama. Keinginan untuk diakui, untuk merasa layak, untuk menjadi lebih dari sekadar manusia biasa.
Setiap dari kita, tanpa sadar, menyimpan sedikit borjuis di dada. Bukan karena ingin berkuasa, tapi karena takut tak dianggap ada.
“.... Mungkin, memang begitu cara dunia bekerja.”