Sabtu, 22 Februari 2025

Indonesia Gelap: Sejarah yang Tak Layak Terulang

"Wahai negeriku, ada apa denganmu?" Sejauh zaman penjajahan, Indonesia didominasi oleh sang tiran. Kebijaksanaan mustahil bertahan dalam jangka panjang. Bukan lagi emas yang benderang, namun cemas yang menyerang. Komunisme ditentang, demokrasi dihadang, sosialis ditendang, dan sebentar lagi kita akan menghilang. Dengan itu kau berencana menjadi diaspora, tetapi Luhut menyuruhmu bunuh diri dan masuk surga. Memangnya ia bisa menjamin dirinya sendiri untuk menghindari neraka? Bukan Tuhan dan tua renta kok banyak gaya. Mengapa harus menjual agama? Seperti Prabowo yang alangkah baiknya tinggal di panti jompo, mohon diurusi penyakitnya terlebih dahulu sebelum disetir oleh Mulyono. Tak usah jadi Soeharto, negeri ini sudah susah meski diiming-imingi sembako. Jikalau kedunguan Gibran kembali berulah, biarlah Bahlil yang cawe-caweToh, masih ada Kiky Saputri dan pemengaruh lain nan gak napak tanah untuk saling mengeksplotasi. Terkadang ingin kautimpuk mereka dengan gas elpiji yang diburu setengah mati, tetapi kau masih lebih baik karena punya hati nurani. Kau bukan Raffi Ahmad yang diam-diam mengoleksi kebutuhan rakyat miskin. Mereka mana paham rasanya dicekik pajak, kendati fasilitas laksana sempak. Efisiensi, ndasmu! Bahkan profesi tak lagi sesuai visi. Damkar yang tak digaji senantiasa melayani, lamun polisi baru bertindak bilamana disuapi. 

Bak, gedebak, gedebuk. Cerobohmu melahirkan titel tak becus sementara oligarki kapital menyeruduk. Hanya kau yang buta sementang langkahmu terantuk-antuk, kata si gendut, membelakangi pintu masa depan generasi emas sambil menarik pelatuk. Perut buncitnya kembang kempisyang kaudoakan lekas meledaklantaran variasi dar, der, dor menjadi pertunjukkan tawa pelanggaran hak asasi manusia. Sudah biasa kausaksikan para penjilat bokong rezim mendesah keasyikkan. "Ah, ah, ah enaknya hari ini telah kurenggut lagi kedaulatan rakyat." Bahkan gedung DPR serupa pantat itu menggagahi mereka usai disodok atap runcing Istana Merdeka. Klimaks senantiasa terulang selepas hukum diobok-obok oleh para feodal. Kau tak pernah sudi menjadi bagian dari mereka, tetapi malah terkena tainya. Lir wabah, semerbak kebusukan bau ketek Erina menginvasi satu negara setiap palu diketuk tiga kali terhadap usulan asal ceplas-ceplos. Kau dituduh anarkis, sedang mereka mencuci tangan dengan bengis. Tahu-tahu Om Deddy Corbuzier selaku pemilik dagu runcing menjabat sebagai stafsus. Kau bertanya-tanya, ke mana perginya konsensus? Kelak makin marak konten podcast guna menyulut propaganda, menambah kekhawatiran saja. Sepenuhnya dicekoki penguasa, lantas berharap pada media lokal juga percuma. Yang penting bagi penindas adalah berpesta pora di luar kegelapan penyintas imbas oke gas, oke gas.

Garuda di dadamu tinggal tersisa tulang belulangnya. Rontok sudah bulu-bulu simbol kemerdekaan bangsa. Tiap tetes darah pengorbanan dianggap mahakarya. Pancasila telah kehilangan implementasinya. Harga dirimu sekarang disandingkan dengan sebatas pemberontakan alih-alih perjuangan. Ironinya, kepalamu dipenggal karena konon ayam ternak tak perlu berotak. Ideologi mereka sudah lama bergeser untuk mengagungkan para pengerat. Moncong-moncong pembawa virus provokatif mencicit nyaring padahal berkepala kosong. Mereka mengaku paling sibuk. Sibuk untuk memakan hak rakyat sampai obesitas. Sebaliknya meski kering kerontang, kaukejar pendidikan tiada batas hingga kehabisan napas. Barangkali bisa melampaui IPK dua koma tiga seorang wakil presiden adalah prestasi besar tanpa harus merampas. Kamu telah terbiasa hidup keras, mana mungkin mendapat privilese peranan bapak mantan tukang kayu dan gemar menyerahkan kursi penuh rayu. Manja kali, ah, fufufafa. Sehina-hinanya dirimu, kau tak pernah terbesit 'tuk memalsukan ijazah sebab kau lebih lapar ilmu pengetahuan daripada siasat kekuasaan, bukan?

Sabtu, 08 Februari 2025

Titik Nol Mutlak dan Pikat Gravitasi

Karangan ditulis berdasarkan sudut pandang karakter
Love and Deepspace; Xavier.

Tahukah, kasih? Bagiku yang tak punya cukup tenaga untuk menikmati lelehan salju pertama, malam di bulan Desember terlalu dingin. Sekadar mengganti pakaian dengan yang lebih tebal pun enggan. Ketika kuhampiri sofa dengan gontai, radiasi panas perapian di hadapanku cukup membuat tubuhku meringkuk. Seharusnya aku sudah disambut oleh bunga tidur dalam sekali pejaman mata, namun kedamaian terus menghindariku bagai hama.

Kepalaku sakit lantaran diserang insomnia berkesinambungan. Kadang-kadang telingaku berdenging saat aku sama sekali tidak menginginkannya. Setiap hasil ledakan sia-sia untuk mendapatkan protocore khusus merupakan ingatan yang ingin kuhapus. Mataku meredup, sementara perasaanku diwakilkan oleh kilatan berang dari bara api. Batang-batang kayu itu digerogoti dengan serakah, hingga air mataku turut bertumpah ruah.

Aku tak pernah tahu cara mendamba. Terbiasa dijerat pelbagai tuntutan tak masuk akal atas gelar kehormatan yang kusandang, akulah boneka kerajaan bagi sang dalang. Mata pedang kuhunus sana-sini dalam kegelapan tanpa tahu arahnya. Hingga hadirmu menyeruak selembut cahaya mentari pagi; menyusup lewat sela-sela jemari. Kutemukan dirimu kala aku perlu diasah agar terarah. Tak lagi kuayunkan pedang dengan payah, bahwasanya aku mengabdi karena kamu layak diperjuangkan seperti musim semi.

O, dengarlah, cinta. Niscaya tak banyak era yang kusukai, kehangatan musim semi tidak mengikis kulit. Terpaan angin sejuknya tidak menusuk sampai ke tulang. Namun kehilanganmu berulang kali adalah kasus yang melebihi musim dingin abadi di kutub. Aku dibekukan oleh waktu. Penjelajahan ruang hampa nirbatas ialah dampak absensimu. Jiwaku terombang-ambing dalam ketidakpastian. Seumpama molekul dan atom berhenti total, lantas kehidupanku tidak ada bedanya.

“Aku rindu.”

Diberkati hidup abadi bukan berarti tidak bisa mati. Aku tumbuh tanpa memahami makna menua ketika usiaku berhenti pada perputaran tahun kedua puluh tiga. Mayoritas orang mungkin akan menyumpah serapahiku sebagai makhluk tak tahu untung. Sialnya, meniti kehidupan nomaden dengan segudang identitas bukanlah hal yang patut dibanggakan. 

Percayakah, sayang? Hanya berada di sisimu, aku merindukan masa-masa aku bisa menjadi diri sendiri. Adakalanya kamu tidak menyukai diriku yang berlapis-lapis seperti bawang. Maka menyaksikanmu direnggut tiada henti oleh semesta, menjadikan rasa bersalahku sebagai teror abadiah. Memoriku terputar acak serupa kaset rusak. Kusesali setiap kesempatan yang terlewati untuk lebih sedikit berdusta. Celakanya, melihatmu terpuruk adalah perkara yang sangat kutolak mentah-mentah.

Kamu tak selalu berada di tempat yang mampu kujangkau. Di antara kesunyian hamparan kosmis, inkarnasimu adalah variasi bintang dengan keelokannya yang berkelap-kelip. Butuh waktu lama bagimu untuk tercipta, namun redupnya cahayamu bisa terjadi dalam sekejap mata. Kendati secara sporadis, aku tersadar bahwa bulan adalah penjelmaanmu yang paling serasi. 

Hakikatnya, si bulat perak perunggu memantulkan cahaya, walakin ia tak pernah mati dan senantiasa indah. Bulan yang tidak sempurna lantaran dihiasi jejak-jejak pertahanannya tanpa menyerah, merefleksikan sifat keras kepala nan sulit kauubah. Semua versi dirimu tetaplah kesatuan utuh yang nahasnya setia beredar di jalur tunggal. Seakan kamu selalu mengelilingiku pada waktu yang tak pasti, kurasakan bayang-bayangmu yang mengamati, hanya untuk menyapa pertemuan pertama kita yang kesekian kali. 

Sayang, ketahuilah bahwa aku tidak pernah lelah menunggumu. 
Cinta, segeralah hadir untuk merengkuh rinduku.
Kasih, sambutlah aku selembut jejak-jejak cahayamu.

Tegakah dirimu membiarkanku dibelenggu dinginnya tipu muslihat sang gulana?

..., begitulah hatiku mengukir arti presensimu
selamanya akan hidup pada sisa-sisa batas waktuku. 

Mereka Ataukah Aku?

Kutatap jendela yang memantulkan wajahku sendiri. Samar, tetapi cukup untuk membuatku muak. Di luar sana, kota ini berdengung oleh mesin-mes...